Konflik Iran-Arab Saudi di Pusaran Isu Sektarian



Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir, 3 Januari malam mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran. Pengumuman dilakukan menyusul penyerangan sejumlah pemuda Iran ke kedutaan Arab Saudi di Iran. Serangan pemuda ini sebagai bentuk protes atas pemenggalan yang dilakukan Arab Saudi terhadap Seikh Nimr al-Nimr, ulama beraliran Syiah yang dihormati di Iran. Ia dipenggal bersama jihadis Sunni lainnya karena dianggap sebagai pembangkang yang menyebarkan terorisme. Ketegangan politik antara dua negara berpengaruh ini berpotensi besar memadamkan upaya perdamaian di Irak, Suriah, dan Yaman. Barbara Slavin, analis dari Atlantic Council mengatakan, ini akan memperdalam konflik sektarian di Timur Tengah.

Dilansir dari laman New York Times, sejarah modern Timur Tengah memang selalu diwarnai perubahan konfigurasi konflik dari masa ke masa. Pada 1950-an hingga 1970-an, konfigurasi utama konflik adalah Arab versus Israel. Kemudian menjadi Iran versus Irak, dan berubah lagi menjadi Irak versus Arab Teluk akibat invasi Irak ke Kuwait pada 1990. Pascainvasi Amerika Serikat tahun 2003 yang menumbangkan rezim Saddam Hussein di Baghdad, konfigurasi utama konflik bergeser ke arah persaingan antara Iran dan Arab Saudi.

Sistem politik sektarian dengan kemunculan poros politik Syiah, Sunni dan Kurdi yang diterapkan di Irak pasca Saddam Hussein berkuasa, berandil besar terhadap masuknya Arab Saudi dan Iran dalam konflik di negara itu. Arab Saudi dikenal pendukung milisi dan kekuatan politik Sunni, sebaliknya Iran adalah pendukung milisi dan kekuatan politik Syiah di Irak. Lebih jauh lagi, hal ini kemudian memantik lahirnya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). NIIS yang mengusung jargon “perlawanan terhadap hegemoni Syiah di Irak” mempunyai legitimasi yang cukup di kalangan kaum Sunni di negara itu.

Sementara Kurdi, berada pada dilemma antara mendukung pemerintah atau NIIS. Di satu sisi ia tidak simpati pada pasukan pemerintah karena kota Kirkuk yang kaya minyak masih mejadi rebutan antara pemerintah pusat Baghdad dan Kurdistan Irak. Di saat yang sama Kurdi melihat NIIS sebagai ancaman karena NIIS tengah bertempur melawan milisi Kurdi di Suriah. Maka terjadilah konflik segitiga antara NIIS, pemerintah pusat Baghdad dan Kurdistan Irak belum lagi ditambah intervensi Iran, Arab, dan koalisi Barat.

Isu sektarian tidak pernah lepas mewarnai gejolak Timur Tengah. Tentunya ini menjadi salah satu alasan awetnya konflik yang terjadi disana. Jika tiap golongan mengedepankan ego sektarian mereka ini, tentu perdamaian di Timur Tengah hanya akan menjadi isapan jempol belaka.

Ditulis di Palembang,
5 Januari 2016

Comments

Popular posts from this blog

Best Delegate in TEIMUN 2014: Have Faith, It Will Lead You Anywhere You Want

Suka Duka Wartawan Tempel AHY-Sylvi

Jadikan SMA Taruna Nusantara Hebat Kembali