Hari Ibu di Rumah Sakit

Genap empat hari sudah Ibu menjalani rawat inap di rumah sakit. Hampir empat bulan saya belum mendapatkan pekerjaan tetap. Saya diberi kesempatan oleh Allah untuk lebih mengenal Ibu saya dan melakukan hal-hal baik untuk Ibu, yang bila dibuat rasionya, satu banding satu miliar dari yang telah Ibu lakukan pada saya sejak saya terlahir di dunia. Kursi roda, infus dan Ibu. Tiga hal yang tidak terbayangkan akan berada dalam satu frame secepat ini.

--

Akhir bulan Agustus saya diwisuda. Sudah tidak terbendung rasanya untuk dapat mencicipi kebebasan. Kebebasan hakiki yang sebenarnya. Tujuh tahun yang lalu definisi “bebas” hanya sebatas satu hari dalam seminggu—hari Minggu—dimana siswa SMA Taruna Nusantara bisa pesiar keluar Magelang. Empat tahun yang lalu, sebagai mahasiswa Universitas Indonesia, “bebas” yang paling menyenangkan adalah ketika libur panjang tiga bulan, setelah semester genap berakhir. Setelah lulus saya tidak langsung melamar pekerjaan karena saya ingin sekali membantu bisnis keluarga dahulu selama satu-dua bulan. Bisnis yang telah mengantarkan saya bersekolah dari SD hingga kuliah di tempat terbaik. Ibu merintis bisnis di Pondok Cabe sejak saya SD. Berbagai badai dilewatinya—merintis hingga beberapa kali gulung tikar. Mulai dari tempat les aritmatika, lembaga bimbingan belajar Primagama, salon Lutuye, hingga saat ini sudah stabil dengan Shop n Drive untuk ganti oli dan aki, tempat pencucian mobil, Londre serta Surabi Bingung.

Maka dimulai lah rutinitas baru saya. Setiap hari saya ikut Ibu ke bengkel, menyetirkan mobil untuk Ibu ke rumah keduanya, alias tempat dimana usaha-usahanya itu beroperasi. Rumah saya di daerah Kuningan sedangkan usaha Ibu terletak di Pondok Cabe. Dengan jarak tempuh nyaris 1,5 jam (kalau tidak macet), jarak dari rumah ke bengkel Ibu dapat dibilang cukup jauh. Sudah berkali-kali saya menyarankan Ibu untuk menggunakan jasa supir saja, tapi Ibu bersikukuh menyetir sendiri. Saat saya berkuliah dulu, Ibu bahkan rela mengantar saya terlebih dahulu ke Stasiun Tebet setiap pagi sebelum Ibu ke Pondok Cabe. Padahal jelas ia “nyempal” dari jalur yang seharusnya ia lewati.

Selama saya menjadi kaki tangan Ibu, pada dasarnya yang saya lakukan tiap hari adalah menjadi supir, memonitor jumlah mobil yang masuk untuk dicuci, melihat pembukuan dari masing-masing kegiatan usaha, mengecek supply oli dari supplier pusat, sampai hal kecil  seperti mengobrol dengan pelanggan untuk mengetahui kritik dan saran dari mereka. Saya kemudian ingat, dulu Ibu meninggalkan pekerjaannya sebagai bankir dan membanting setir menjadi pengusaha, agar jam kerjanya fleksibel dan bisa melewatkan banyak waktu dengan keluarga. Ia memilih menjadi pengusaha agar bisa mengawal golden moment saya dan kakak. Selain dari kegiatan usaha, Ibu juga mengurus hal-hal kecil namun sangat penting seperti mengurus klaim asuransi mobil, me-laundry pakaian, memperpanjang STNK, dan lain sebagainya.

Satu hari penuh bersama Ibu—yang saya kira akan berjalan baik-baik saja—kami justru banyak bersinggungan dan selisih paham. Satu hari penuh bersama Ibu, saya baru tahu Ibu tidak suka roti cokelat. Satu hari penuh bersama Ibu, saya baru tahu ternyata Ibu sering makan siang “ngasal” di sembarang jalan di gerobak yang entah bagaimana tingkat kehigienisannya—asal terlihat enak karena ramai ia akan makan saja disitu. Satu hari penuh bersama Ibu, saya baru tahu Ibu sering lupa makan. Satu hari penuh bersama Ibu, saya sering dibuatnya kesal karena sering disuruh-suruh—belum selesai mengerjakan yang satu, sudah diterjang suruhan-suruhan lainnya.

Ibu adalah wanita dengan pribadi yang kuat dan sangat perfeksionis. Menjadi anak perempuan pertama di keluarga setelah dua kakak laki-lakinya (dan ditinggal kedua orang tua sejak kecil) membuat dirinya terbiasa untuk mengatur dengan detail segala hal sejak di rumah. Sering sekali saya dan Ibu berdebat karena hal sepele; misalnya saat Ibu menyuruh saya merapikan belanjaan. Saya lebih suka mengeluarkan barang dari plastik kemudian dimasukkan ke tempatnya dan langung melipat rapih plastiknya. Sedangkan Ibu lebih suka memasukkan semua barang terlebih dahulu secara kolektif ke tempatnya baru plastik-plastiknya dilipat. Sama saja bukan?! Karena hal sepele begitu, saya dan Ibu bisa berdebat hingga lebih dari 15 menit (tak jarang dengan teriak-teriak).

Beberapa bulan telah terlewati, sungguh saya banyak belajar berkomunikasi dengan Ibu, dengan jauh lebih baik. Saya merasakan perubahan yang besar dalam cara menghadapi Ibu. Bagaimana saya merespon panggilan Ibu yang sering tidak tepat—misalnya saat saya sedang mengerjakan perintahnya yang sebelumnya, bagaimana saya mendengarkan segala marah-marahnya Ibu bagaimanapun tidak masuk akalnya, bagaimana saya melakukan segala permintaan Ibu seberapapun merepotkannya, bagaimana saya tidak pernah lagi mengucapkan “AH” ketika Ibu mengkritik saya. Saya merasa, saya telah memilih untuk menjadi dewasa dan saya mau berusaha untuk mewujudkannya.

--

Keseimbangan dari sistem yang telah terbangun dengan komponen seorang Ibu di dalam keluarga goyah pada bulan September. Ibu terlalu lelah bekerja hingga sakit batuk luar biasa. Dokter curiga typhus-nya datang lagi. Tengah malam Ibu sering sulit tidur karena batuk yang selalu mengusik. Saya pun sering kurang tidur karena mengambilkan Ibu air putih hangat saat Ibu batuk hebat. Ibu keluar masuk rumah sakit karena antibiotiknya tidak mempan. Karena kakak sedang sibuk mengurus beasiswa dan banyak dilanda tugas, saya menjadi PMO (Polisi Minum Obat) Ibu. Selain itu saya harus memastikan Ibu tidak makan gorengan dan sambel. Dua kenikmatan dunia itu tidak bisa lagi dirasakan Ibu.

Memang dasarnya kutu loncat, Ibu kembali hinggap sana sini saat ia mulai merasa enakan. Ibu kembali bersih-bersih rumah, padahal rumah tidak berantakan. Suatu saat ia keluar kota untuk menghadiri acara Dharma Wanita, malamnya ia sangat pusing dan besoknya panas tak terkira suhu tubuhnya. Jurus ala saya yaitu memberikan kerokan yang manjur, biasanya bisa langsung menurunkan suhu tubuh Ibu. Tapi tidak kali ini.

Hari ini. Tepat di Hari Ibu, Ibu tergolek tidak berdaya. Badan Ibu panas hingga 40 derajat. Ia yang tadinya enerjik dan seperti kutu loncat, kini harus di-opname di rumah sakit. Ia yang tadinya tidak peduli bisa makan apa saja, kini harus makan makanan apapun yang ujung-ujungnya hambar. Ibu yang tadinya suka bercanda dan tertawa lepas harus menjaga diri karena sering tertawanya diakhiri dengan batuk maha dahsyat yang melelahkan otot perutnya.


Sore ini saya melihat Ibu yang sedang tidur. Teriris sembilu rasanya melihat Ibu lemah, mengurus dan pucat pasi. Batuk dan sakitnya telah menggerogoti energi Ibu. Ibu, orang yang mendahulukan kepentingan keluarganya di atas kepentingannya sendiri. Ibu, orang yang dibalik kekerasan pribadinya, tersimpan kelembutan dan kesabaran tiada tara, yang menerima saya apa adanya.

Di saat orang lain memandang saya sebelah mata, Ibu selalu ada untuk menguatkan dan membuat saya percaya bahwa saya mempunyai sesuatu yang dapat saya tawarkan pada dunia.

Pagi ini Ayah mengirimkan pesan di grup Whatsapp keluarga yang berisi kami berempat (Ayah, Ibu, Kakak dan saya) “Selamat hari Ibu, terima kasih telah mendampingiku dan mengasuh anak-anak kita dengan penuh cinta dan kasih sayang… Semoga segera sehat kembali” setelah Ibu menjawab ucapan Ayah, saya dan kakak mengucapkan ucapan manis kami seperti biasanya. Ibu kemudian membalas “Iya kakak dan adik, terimakasih sudah merawat Ibu dengan sabar. Itu sudah kado terindah buat Ibu...” tiba-tiba air mata menggenang di pelupuk mata saya dan bergulir satu persatu...

Ibu, terimakasih, terimakasih, terimakasih. Bermiliar-juta terimakasih tidaklah cukup. Terimakasih telah menjadi panutan yang sangat luar biasa untuk kami. Maaf hingga saat ini saya belum bisa membanggakan Ibu seperti yang Ibu harapkan. Saya belum memberikan karya yang berarti untuk bangsa dan negara.

Yang saya tahu, saya kini telah menjadi pribadi yang sadar. Empat bulan ini sungguh berharga, terimakasih ya Allah telah Engkau beri kesempatan untuk bersama Ibu dan membuat saya sadar.


Sadar bahwa seringkali saya tidak menyadari pengorbanan-pengorbanan Ibu. Banyaknya kegiatan di kampus membuat saya sering merepotkan Ibu dan keluarga. Kadang saya lupa mengucapkan “tolong” sebelumnya atau “terimakasih” setelahnya. Ibu tetap membantu dengan maksimal padahal saat itu mungkin Ibu sedang sibuk-sibuknya juga.

Sadar bahwa Ibu bukanlah orang yang menyayangi saya dengan biasa saja. Ibu mencintai saya dengan luar biasa. Ibu adalah satu-satunya orang yang bisa merasakan bagaimana terpuruknya saya ketika saya patah hati. Ibu ingat ya? Dulu saya meratap hingga berhari-hari di kamar. Ibu selalu ada di samping saya di saat-saat terburuk saya.

Sadar bahwa Ibu adalah Mario Teguh pribadi saya sejak kecil. Ibu ingat? Dulu Ibu memaksa saya ikut lomba membaca puisi, mewakili TK Pertiwi di tingkat regional. Saat saya di panggung, saya lupa semua teksnya dan hanya terdiam di atas panggung. Ibu bisa saja marah dan malu melihat saya saat itu, tapi Ibu justru memuji saya sudah berani naik ke atas panggung dan menganggap saya anak yang hebat. Mungkin kalau dulu Ibu justru memarahi saya, saya tidak akan bisa menjadi seperti sekarang. Yang menjadi tidak tahu malu di atas panggung, ha ha ha.

Sadar bahwa Ibu adalah orang yang paling peduli akan keberhasilan saya di masa depan. Saat saya di bully di SD karena ukuran tubuh saya yang besar, Ibu orang pertama yang memperjuangkan martabat saya di sekolah. Entah bagaimana Ibu membangunkan rasa percaya diri di sekolah dan mengajarkan cara bergaul dengan tidak memilih-milih. Ibu juga mendaftarkan berbagai macam les, mulai dari les komputer hingga les masak, hi hi hi.

Ya Allah, hamba percaya di setiap kejadian di atas bumi ini tidak ada yang terjadi di luar kendali-Mu. Hamba tidak hentinya bersyukur telah Engkau berikan nikmat rezeki dan kesehatan kepada Ibu saya, kepada keluarga saya. Terimakasih ya Allah atas segala perlindungan dan jalan hidup yang telah Engkau tentukan pada saya.

Selamat hari Ibu, Ibu Endang Fannah Prihyaningsih. Engkau memang bukan manusia super sempurna, tapi engkau lah penerang jiwa terbaik saya dalam setiap waktu.

“Remember to love your parents, we are so busy growing up we often forget they are also growing old.”


Adek sayang Ibu. Semoga adek bisa menjadi Ibu yang baik seperti Ibu dan bisa membanggakan Ibu.


RS MMC, Jakarta
22 Desember 2014

Comments

Popular posts from this blog

Best Delegate in TEIMUN 2014: Have Faith, It Will Lead You Anywhere You Want

Suka Duka Wartawan Tempel AHY-Sylvi

Jadikan SMA Taruna Nusantara Hebat Kembali