Blusukan Menteri: Kerja atau Pencitraan?
Pembaharuan bukanlah suatu creatio ex nihilo—ciptaan yang meloncat
begitu saja dari ruang kosong, melainkan sesuatu yang harus
diperjuangkan dan dilakukan secara konstan. “Kerja, kerja, kerja” adalah jargon yang menjadi aspirasi dari Presiden Joko Widodo atas kabinetnya dalam menciptakan perubahan di masyarakat. Etos kerja ini nampaknya juga berusaha
untuk ditanamkan dan dihayati oleh para menteri dalam kabinetnya.
Presiden
Jokowi pekan lalu mengunjungi korban bencana Sinabung di Sumatra Utara. Seakan
latah dan tak mau kalah, para Menteri juga terlihat menghiasi layar kaca melakukan
blusukan. Tren blusukan adalah suatu kemajuan pesat dalam model kepemimpinan di
pemerintahan Indonesia. Menteri-menteri pada periode sebelumnya cenderung lebih
sering bekerja di dalam ruangan, memantau lewat kaki tangan dan jarang turun ke
lapangan.
![]() |
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi blusukan ke BNN. |
Hal
serupa diungkapkan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald
Kasali, “Perubahan sering diibaratkan sebagai upaya menghubungkan duat titik
terpisah (connnecting the unconnect)
sehingga peta menjadi amat penting. Celakanya, begitu peta selesai dibuat dan
diumumkan, banyak pemimpin merasa bahwa tugas reformasinya sudah selesai.”
Berangkat dari pendapat tersebut, maka saat ini para Menteri sedang mencari
titik-titik “sumbatan” secara langsung. Tidak hanya berhenti disitu, diharapkan
mereka kemudian bisa menemukan jurus “totok” yang diperintahkan oleh Presiden
Jokowi untuk melancarkan aliran darahnya.
Blusukan
ini secara tidak langsung juga menjadi pecutan tersendiri kepada pegawai
kementerian itu agar sama bersemangatnya dengan ibu/bapak Menteri. Menurut
Kotter, tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah, “build a guiding coalition” atau membangun koalisi pemimpin. Di
tahap ini pemimpin mengumpulkan kelompok dengan kekuatan dan energi untuk
memimpin dan mendukung usaha perubahan yang kolaboratif. Hal ini menjadi
penting karena seorang pemimpin tidak mungkin tidak mempunyai pengikut. Ia
tidak bisa bekerja sendiri.
Berbekal
koalisi yang mendukung, tahap berikutnya yang harus dilakukan adalah “form a strategic vision and initiatives” dimana pemimpin harus membentuk visi
untuk membantu mengarahkan usaha perubahan dan mengembangkan inisiatif
strategis untuk mencapai visi tersebut. Kinerja dari para eselon dan staf
menjadi semakin berarti ketika kementerian tempatnya bekerja tersebut memiliki
satu visi yang jelas.
Hati-hati,
virus blusukan juga dapat menciptakan peradangan bila blusukan ini tidak
efektif, dilakukan untuk kepentingan pribadi semata dan memuaskan ambisi
politik. Alih-alih memajukan kinerja kementerian, blusukan nihil faedah.
Dalam
salah satu tulisannya, Goenawan Muhammad mengungkapkan, “Suatu bangsa tidak mungkin berangkat
dengan pesimisme. Perjalanan dalam sejarah adalah perjalanan dalam separuh gelap. Kita
memerlukan semacam iman.” Meskipun baru
satu pekan, negara—dalam hal ini Menteri Kabinet Kerja—sedikit banyak telah
memberikan asupan semangat bagi rakyat untuk mempercayai adanya masa depan
cerah bagi bangsa Indonesia.
Dengan
ini para Menteri diharapkan tidak seperti orang mabuk yang kehilangan kunci. Mencari
jawaban di tempat yang terang. Jangan sampai para Menteri hanya bekerja apabila
ada media yang menyorotnya, hanya pada titik-titik yang strategis dan sekiranya
dapat meningkatkan nilai jualnya. Justru para Menteri diharapkan hadir di
tempat-tempat gelap yang tidak terjamah kesejahteraan dan tidak mengenal
kemakmuran.
NSA
Comments