Demokrasi 4 November yang Ditunggangi
Foto udara demo 4 November (Sumber: Kompas) |
Jutaan warga negara Indonesia baru saja menjalani ujian mata pelajaran
demokrasi. Karena ricuh sejurus, sayang belum bisa lulus. Meski begitu, apresiasi
yang tinggi saya berikan pada sebagian pendemo yang konsisten mempertahankan
kedamaian sepanjang unjuk rasa dan salut dengan kinerja Polri-TNI yang
dedikatif mengamankan seluruh warga. Bayangkan, dalam keadaan rutinitas normal
saja sebuah bom bisa meledak di Sarinah, Jakarta Pusat (14/01). Apalagi ini
jutaan orang tumpah ruah di sepanjang jalan antara Monas hingga Istana Negara.
Besar sekali kemungkinan teror terjadi. Tapi nyatanya, hal tersebut tidak
terjadi.
Itulah makanya saya sebut ini demokrasi setengah-setengah. Ternyata
masih ada segelintir orang yang belum cukup dewasa untuk menerima suatu
keputusan yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Padahal saya rasa semua sudah sepakat bahwa
negara ini adalah negara hukum. Kita semua sebagai masyarakat madani berada
dalam kontrak sosial itu. Sejumlah filsuf baik Thomas Hobbes, John Locke maupun
J.J. Rousseu menyatakan, kontrak sosial adalah proses terbentuknya suatu
negara, dimana, masyarakat membuat kontrak antar mereka sendiri untuk
mendirikan sebuah negara sehingga kewenangan berada di tangan masyarakat. Ingat,
kontrak sosial kita adalah menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai
koridor hukum.
Penistaan Agama
Ketua Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab sebagai motor
demo ini mengatakan, demo disebabkan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh
Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama. Dikatakan olehnya bahwa
demo ini tidak ditunggangi kepentingan politik melainkan terjadi sebagai sebuah
reaksi atas aksi. Ahok, sapaan akrab Basuki, dianggap melukai umat muslim
karena ucapannya di Kepulauan Seribu soal surat Al Maidah ayat 51. Apa
sebenarnya yang dikatakan oleh Ahok? Janganlah berani berkomentar sebelum anda
melihat secara utuh video tersebut. (https://www.youtube.com/watch?v=8hAZzCV7l3U).
Biarkan Hukum
Berbicara
Setelah menonton video tersebut silahkan analisis apakah memenuhi
unsur-unsur pidana penistaan agama. Penistaan agama diatur di Pasal 156a Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP): “Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia;
b.
Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan adanya aturan yang jelas seperti ini dan proses hukum yang sedang
berjalan di Mabes Polri, sebaiknya masyarakat menunggu dan bersabar. Sayangnya
kepercayaan mereka terkikis, entah murni karena alasan membela agama atau ada
dorongan lainnya. Mari kedepankan pengadilan meja hijau, bukan pengadilan rumput hijau di jalanan atau
bahkan pengadilan oleh media (trial by
the press), baik media mainstream maupun
media sosial. Lagipula agama tidak akan hina meski dihina.
Berbicara tentang media sosial, awal mula demo ini sebenarnya dari media
sosial pula. Seorang yang mengklaim dirinya jurnalis bernama Buni Yani,
menyebarluaskan video ucapan Ahok di Pulau Seribu namun versi yang sudah
dipotong dan di transkrip dengan tidak utuh. Kebencian pun tersebarluas dengan
cepat. Mereka yang tidak mempunyai sistem filter
dalam otaknya tentu akan termakan dengan cepat.
Di masa kampanye Pilkada DKI ini berbagai kebencian bermunculan. Tidak
hanya kasus surat Al Maidah, ada pula perkara dinasti politik, sampai persoalan
perbedaan dalam sikap masa lalu. Ini menjadi titik balik bagaimana manuver isu
politik berdiaspora secara cepat, membentur akal sehat, kebenaran bahkan
mengubur nurani di dasar paling dalam ruang pragmatisme politik. Di media
sosial orang begitu mudah diprovokasi dengan mengabaikan substansi, sukar
mencari kebenaran yang hakiki. Media sosial pada akhirnya jadi ruang yang riuh
oleh kebencian yang diadu tak hanya oleh haters
tetapi tidak sedikit dari deretan para intelektual dan ilmuwan.
Isu SARA Bersenyawa
dengan Pilkada
Rasanya sulit untuk tidak mengaitkan demo ini dengan dimensi SARA dan politik.
Dalam hal SARA, sejumlah orang tidak hanya membahas penistaan agama namun juga
mengaitkan dengan agama dan ras Tionghoa
Ahok. Sementara itu demo juga politis karena Ahok merupakan Gubernur petahana
yang akan bertarung lagi di Pilkada 2017 mendatang. Ia mempunyai elektabilitas
tinggi meski digempur berbagai isu negatif. Hal ini dikuatkan dengan ucapan
Presiden Joko Widodo di istana negara tengah malam usai demonstrasi, yang
menyatakan bahwa unjuk rasa telah ditunggangi aktor politik. Saya tidak bisa menerka
siapa penunggang ini. Yang jelas Presiden menyampaikan pesan kuat bahwa ia
tidak akan membiarkan penumpang gelap ini berulah lagi.
Sebagai negara berjiwa bhinneka
tunggal ika, dengan beragam suku agama ras dan antargolongan, seharusnya kita
mempunyai kebijaksanaan untuk saling memaafkan. Izinkan saya mengutip ucapan
Nelson Mandela:
“I
always knew that deep down in every human heart, there is mercy and generosity.
No one is born hating another person because of the color of his skin, or his
background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn
to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human
heart than its opposite. Even in the grimmest times in prison, when my comrades
and I were pushed to our limits, I would see a glimmer of humanity in one of
the guards, perhaps just for a second, but it was enough to reassure me and
keep me going. Man’s goodness is a flame that can be hidden but never
extinguished.”
― Nelson Mandela, Long Walk to
Freedom
Ditulis di Jakarta,
5 November 2016
Nadia Atmaji
Comments