Fenomena Brexit dan Dampaknya pada Indonesia
Masyarakat Inggris Raya akhirnya memutuskan
untuk pergi meninggalkan Uni Eropa. Padahal dulu pendirian Uni Eropa memakan
proses yang panjang dan sangat rumit. Kemenangan kampanye Brexit secara
garis besar disebabkan persamaan perasaan masyarakat Inggris Raya yang terancam
dengan banjir imigran. Mereka tidak rela tanah air leluhurnya dibanjiri
pendatang. Terlebih juga telah menghimpit pemasukan, dan fasilitas publik yang
biasanya mereka nikmati dengan eksklusif. Situasinya mirip tatkala mata
uang euro akan dirilis.
Berlarutnya
krisis ekonomi di kawasan Eropa juga menjadi faktor penting. Sejak krisis
2007/2008, negara di kawasan Uni Eropa tak lagi merasa senasib, saling menuding
sebagai sumber kekacauan ekonomi. Dalam konteks referendum, Inggris merasa
salah satu faktor yang membuat mereka tak segera pulih adalah dinamika kawasan
yang sulit dikendalikan. Belum lagi fakta, neraca perdagangan Inggris makin
besar defisitnya terhadap Jerman.
Integrasi
kawasan menjadi hal yang kurang menarik akhir-akhir ini. Arah pengembangan
Masyarakat Ekonomi ASEAN pun menjadi semakin sulit menuju pada integrasi
menyeluruh. Penyatuan mata uang yang tadinya sempat dipikirkan, terasa mustahil. Akibatnya, kebijakan menyesuaikan besaran nilai mata uang kita
dengan negara tetangga (redenominasi) menjadi kehilangan
relevansinya.
Bagi perekonomian domestik kita, efek jangka pendeknya
diyakini tak banyak. Bahkan, banyak asumsi yang cenderung positif dengan
masuknya modal di pasar keuangan kita. Selain itu, selama ini Indonesia cenderung sulit dalam impor ke Eropa. Namun jika Inggris melonggarkan ketentuan impornya, ini menjadi peluang untuk kita. Sejatinya dampak jangka menengahnya
lebih serius, di mana pertumbuhan global cenderung surut, disertai turunnya
aktivitas perdagangan dan investasi. Di dunia ini memang tidak ada yang pasti, termasuk kerjasama Eropa yang terlihat kuat ini.
Ditulis di Jakarta, 28 Juni 2016
Nadia Atmaji
Comments