Dagelan Politik Ala Setya Novanto
Unsur
nama Setya Novanto, mulai dari “Setya”, “Novanto”, “Setya Novanto” hingga
inisial “SN” dan embel-embel jabatannya, “pimpinan DPR” “ketua DPR yang
terhormat” memperkeruh layar kaca, layar telepon seluler dan layar koran. Saya
pilih kata dasar keruh karena kenyataannya ia sungguh mengusik kenegarawanan saya. Dalam tulisan ini saya akan gunakan inisial “SN”. Hal ini disebabkan huru hara baru yang ia ciptakan. Ada salah
satu fakta menarik menyusul huru hara ini, adanya dua petisi yang dikumpulkan di situs
change.org untuk menurunkan SN dari jabatan pimpinan DPR dan membuka untuk umum sidang
Mahkamah Kehormatan Dewan. Dua petisi ini sudah didukung oleh lebih dari 120.000 netizen dalam kurun waktu dua hari saja.
Inilah
hebatnya media, bisa membentuk opini publik, menyudutkan musuh bersama, dengan harapan
bisa mewujudkan esensi hidup berdemokrasi: dari
rakyat, untuk rakyat. Tetapi untuk this
certain person, akankah media—setidaknya satu-satunya amunisi yang kita
miliki saat ini—cukup kuat? Tentunya kita masih ingat bagaimana ramainya media
memberitakan pengusutan kasus SN dan Fadli Zon di Mahkamah Kehormatan Dewan
terkait kehadiran mereka di gedung Trump saat salah satu bakal calon presiden
Amerika Serikat Donald Trump melakukan konferensi pers. Alhasil? Antiklimaks. Kedua anggota
ini memberikan klarifikasi pada MKD tanpa diketahui oleh awak media, bahkan Junimart Girsang (wakil ketua MKD) mengaku ia tidak dilibatkan dalam pertemuan ini. SN dan
Fadli Zon lantas hanya mendapatkan teguran ringan. Teguran ringan,
implikasinya apa? Tidak ada yang tahu. Sungguh jauh panggang dari api.
Untuk
kasus yang terbaru saat ini, cukup unik. Seorang Menteri Energi Sumber Daya Mineral,
Sudirman Said (selanjutnya saya sebut “SS”), melaporkan SN yang diduga mencatut
nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta saham pada perusahaan
multinasional, PT Freeport Indonesia. Haruskah kita mempercayai begitu saja
laporan SS ini? Tentu tidak. Marilah kita terapkan asas praduga tak bersalah
disini dan mempercayakan MKD untuk membuka tabir kebenaran. Nyatanya hingga saat ini laju MKD nampak seperti mobil yang bannya kempes padahal bukti permulaan berupa rekaman percakapan sudah diserahkan. Apa
kata yang lebih tepat selain kecewa terhadap MKD yang justru mendiskusikan hal
absurd, mendebatkan apakah SS termasuk dalam mereka yang boleh melaporkan
anggota DPR ke MKD? Dalam pasal 5 tata beracara MKD, memang tidak tertulis
Menteri boleh melaporkan anggota DPR ke MKD. Tetapi apakah lantas hal teknis
menyampingkan substansi perkara yang rasanya lebih jauh penting? Apalagi, pada pasal lainnya dinyatakan pengusutan dugaan pelanggaran kode etik bisa dilakukan melalui sistem pelaporan ataupun MKD mengusut tanpa laporan. Dalam hal ini berarti legal standing SS tidak lagi relevan untuk dibahas. Buktinya saat kasus Trump, MKD dengan bangga menyatakan kalau pengusutan dugaan pelanggaran ini berdasarkan rapat pleno MKD, kok. Perdebatan internal MKD terkait legal standing ini tak
ubahnya skenario drama sinetron. Ditambah-tambah episodenya, supaya isu menguap
dan terlupakan. MKD tak lebih dari sekedar tempat cuci piring.
Saya
menduga MKD pun tak cukup bertaring untuk menggigit SN. Apalah arti ketua MKD
Surahman Hidayat dibanding pengusaha kelas kakap berkawan banyak si ketua DPR SN.
Saat ini mungkin Surahman berkecil hati berkata “aku mah apa atuuuuh..” Benar ya, Pak Surahman? Kalau tidak benar
dan anda punya keberpihakan pada rakyat, saya yakin seharusnya anda tidak ambil
pusing soal legal standing SS. Jika anda
berani mengusut tuntas kasus ini, boleh jadi anda dimusuhi dan hidup anda tidak
tenang. Tetapi tahukah anda bahwa Tuhan tidak pernah tidur? Saya jamin anda justru
akan semakin dipercayai rakyat. Bukankah itu penghargaan tertinggi yang bisa
disematkan pada seorang “wakil rakyat”?
Saya
juga sangat menyayangkan respon keras dari dua punggawa yang setia membela SN,
Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Pertama, kurang lebih Fahri mengatakan pada awak
media bahwa tidak seharusnya eksekutif menyerang legislatif. Laporan SS ini
bukan bentuk penyerangan menurut saya. Jika ya, maka selesaikanlah di MKD. Konfrontir pihak-pihak yang ada di rekaman ini. Ia
sebagai wakil ketua yang membawahi MKD mengapa harus takut dan justru terkesan
kerap mengintervensi jalannya sidang? Tidakkah ia seharusnya mendorong MKD
menyelesaikan kasus ini? Fadli Zon juga sama saja. Dalam acara
Mata Najwa, ia justru balik menuding SS yang memberikan jaminan untuk
memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia. Ia mencoba mengalihkan isu dan
digagalkan oleh sang presenter Najwa Shihab.
Akankah
marwah MKD menguap bersama kasus SN ini? Adakah SN risih dengan berita-berita
yang berseliweran belakangan ini? Saat saya membuat tulisan ini boleh jadi SN
sedang tidur nyenyak. Mungkin tanpa perasaan bersalah, ia justru sedang
berbahagia dan tidak sabar menunggu pernikahan anaknya yang akan dihelat di ballroom
hotel mewah di bilangan Jakarta Selatan.
Ditulis di Palembang,
24 November 2015
Unsur nama Setya Novanto, mulai dari “Setya”, “Novanto”, “Setya Novanto” hingga inisial “SN” dan embel-embel jabatannya, “pimpinan DPR” “ketua DPR yang terhormat” memperkeruh layar kaca, layar telepon seluler dan layar koran. Saya pilih kata dasar keruh karena kenyataannya ia sungguh mengusik kenegarawanan saya. Dalam tulisan ini saya akan gunakan inisial “SN”. Hal ini disebabkan huru hara baru yang ia ciptakan. Ada salah satu fakta menarik menyusul huru hara ini, adanya dua petisi yang dikumpulkan di situs change.org untuk menurunkan SN dari jabatan pimpinan DPR dan membuka untuk umum sidang Mahkamah Kehormatan Dewan. Dua petisi ini sudah didukung oleh lebih dari 120.000 netizen dalam kurun waktu dua hari saja.
Inilah
hebatnya media, bisa membentuk opini publik, menyudutkan musuh bersama, dengan harapan
bisa mewujudkan esensi hidup berdemokrasi: dari
rakyat, untuk rakyat. Tetapi untuk this
certain person, akankah media—setidaknya satu-satunya amunisi yang kita
miliki saat ini—cukup kuat? Tentunya kita masih ingat bagaimana ramainya media
memberitakan pengusutan kasus SN dan Fadli Zon di Mahkamah Kehormatan Dewan
terkait kehadiran mereka di gedung Trump saat salah satu bakal calon presiden
Amerika Serikat Donald Trump melakukan konferensi pers. Alhasil? Antiklimaks. Kedua anggota
ini memberikan klarifikasi pada MKD tanpa diketahui oleh awak media, bahkan Junimart Girsang (wakil ketua MKD) mengaku ia tidak dilibatkan dalam pertemuan ini. SN dan
Fadli Zon lantas hanya mendapatkan teguran ringan. Teguran ringan,
implikasinya apa? Tidak ada yang tahu. Sungguh jauh panggang dari api.
Untuk
kasus yang terbaru saat ini, cukup unik. Seorang Menteri Energi Sumber Daya Mineral,
Sudirman Said (selanjutnya saya sebut “SS”), melaporkan SN yang diduga mencatut
nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta saham pada perusahaan
multinasional, PT Freeport Indonesia. Haruskah kita mempercayai begitu saja
laporan SS ini? Tentu tidak. Marilah kita terapkan asas praduga tak bersalah
disini dan mempercayakan MKD untuk membuka tabir kebenaran. Nyatanya hingga saat ini laju MKD nampak seperti mobil yang bannya kempes padahal bukti permulaan berupa rekaman percakapan sudah diserahkan. Apa
kata yang lebih tepat selain kecewa terhadap MKD yang justru mendiskusikan hal
absurd, mendebatkan apakah SS termasuk dalam mereka yang boleh melaporkan
anggota DPR ke MKD? Dalam pasal 5 tata beracara MKD, memang tidak tertulis
Menteri boleh melaporkan anggota DPR ke MKD. Tetapi apakah lantas hal teknis
menyampingkan substansi perkara yang rasanya lebih jauh penting? Apalagi, pada pasal lainnya dinyatakan pengusutan dugaan pelanggaran kode etik bisa dilakukan melalui sistem pelaporan ataupun MKD mengusut tanpa laporan. Dalam hal ini berarti legal standing SS tidak lagi relevan untuk dibahas. Buktinya saat kasus Trump, MKD dengan bangga menyatakan kalau pengusutan dugaan pelanggaran ini berdasarkan rapat pleno MKD, kok. Perdebatan internal MKD terkait legal standing ini tak
ubahnya skenario drama sinetron. Ditambah-tambah episodenya, supaya isu menguap
dan terlupakan. MKD tak lebih dari sekedar tempat cuci piring.
Saya
menduga MKD pun tak cukup bertaring untuk menggigit SN. Apalah arti ketua MKD
Surahman Hidayat dibanding pengusaha kelas kakap berkawan banyak si ketua DPR SN.
Saat ini mungkin Surahman berkecil hati berkata “aku mah apa atuuuuh..” Benar ya, Pak Surahman? Kalau tidak benar
dan anda punya keberpihakan pada rakyat, saya yakin seharusnya anda tidak ambil
pusing soal legal standing SS. Jika anda
berani mengusut tuntas kasus ini, boleh jadi anda dimusuhi dan hidup anda tidak
tenang. Tetapi tahukah anda bahwa Tuhan tidak pernah tidur? Saya jamin anda justru
akan semakin dipercayai rakyat. Bukankah itu penghargaan tertinggi yang bisa
disematkan pada seorang “wakil rakyat”?
Saya juga sangat menyayangkan respon keras dari dua punggawa yang setia membela SN, Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Pertama, kurang lebih Fahri mengatakan pada awak media bahwa tidak seharusnya eksekutif menyerang legislatif. Laporan SS ini bukan bentuk penyerangan menurut saya. Jika ya, maka selesaikanlah di MKD. Konfrontir pihak-pihak yang ada di rekaman ini. Ia sebagai wakil ketua yang membawahi MKD mengapa harus takut dan justru terkesan kerap mengintervensi jalannya sidang? Tidakkah ia seharusnya mendorong MKD menyelesaikan kasus ini? Fadli Zon juga sama saja. Dalam acara Mata Najwa, ia justru balik menuding SS yang memberikan jaminan untuk memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia. Ia mencoba mengalihkan isu dan digagalkan oleh sang presenter Najwa Shihab.
Akankah marwah MKD menguap bersama kasus SN ini? Adakah SN risih dengan berita-berita yang berseliweran belakangan ini? Saat saya membuat tulisan ini boleh jadi SN sedang tidur nyenyak. Mungkin tanpa perasaan bersalah, ia justru sedang berbahagia dan tidak sabar menunggu pernikahan anaknya yang akan dihelat di ballroom hotel mewah di bilangan Jakarta Selatan.
Ditulis di Palembang,
24 November 2015
24 November 2015
Comments