Surat untuk Ayah Mili
Untuk Ayahku,
Dari Mili
Hari ini hari Kamis, 2 Januari 2014. Ya, hari kedua
setelah pergantian tahun. Seharusnya tidak ada sesuatu hal yang berbeda hari
ini. Tidak ada yang berulang tahun, tidak ada perayaan hari jadi, tidak ada
peringatan, pernikahan, apa pun. Seharusnya hari ini menjadi hari biasa yang
berlalu seperti rutinitas yang seharusnya. Aku yang bangun siang karena sedang
libur dan memang
tidur larut, Kakak yang (biasanya) juga masih tidur tapi sekarang sudah ada di
meja makan bersama Ayah dan Ibu.
Aku yang baru terbangun dari sofa hitam di depan TV
memutuskan untuk tidak langsung bergabung karena masih mengantuk dan justru
memutuskan untuk melanjutkan tidur di kamar Ibu. Namun tidurku tidak lagi
lelap. Ada yang aneh. Kudengar tangisan sendu penuh kesedihan. Aku pikir tangisan
itu berasal di mimpiku. Tapi ternyata tidak… Aku bergegas keluar kamar dan
ternyata tangisan itu berasal dari dua wanita kuat yang terlihat sangat lemah
saat itu. Bersimpuh di bawah kaki Ayahku. Tiga orang yang sangat kusayang,
berada dalam satu bingkai yang sangat membingungkanku. Apa yang terjadi? Aku
mencoba mengumpulkan nyawa dan mencerna apa yang terjadi. Saat itu aku bak
berada dalam situasi dua tahun yang lalu, saat mimpi buruk menyergap. Mimpi
buruk yang kelam dan gelap yang pernah ada di alam mimpi dan akan terlalu pekat
untuk bisa melihat, dalam hidup seperti itu.
Ayah dan Ibuku akan bercerai.
---
Kepada Ayahku yang membaca ini..
Tidak akan cukup ratusan kata pun untuk menjelaskan
betapa anak perempuanmu ini begitu menyayangi Ayah. Tidak akan cukup ribuan kata pun
untuk mengungkapkan rasa terimakasih atas segala apa yang Ayah telah berikan
kepadaku.
Di balik perangai Ayah yang terlihat dingin dan cenderung
tak acuh. Aku tahu, Ayah selalu menjaga anak-anaknya dari kejauhan. Ayah selalu
menjadi seorang yang setia menunggu Kakak dan Mili hingga larut, sekalipun harus
tertidur di depan sofa hitam di depan TV yang menyala. Ayah tidak akan tidur
tenang di kamar Ayah kalau belum membukakan pintu untuk anaknya yang baru
pulang dari bersenang-senang. Usai memastikan aku dan/Kakak telah mencium
tangan Ayah yang berjari gemuk itu, barulah Ayah bisa tidur dengan pulas.
Di balik sosok Ayah yang tidak pernah secara gamblang
mengatakan “Ayah kangen Mili”, atau bahkan “Ayah sayang Mili”, Mili tahu rasa
sayang Ayah tidak pernah ada yang bisa menandinginya. Sampai-sampai Ayah,
seorang direktur yang selalu mendapatkan fasilitas kelas satu, rela
ngebut-ngebutan dengan ojek, melaju kencang agar bisa segera sampai ke kantor
polisi Pasar Minggu, menjemput anaknya, menenangkan anaknya yang kalut, menyelesaikan
masalah yang terlalu besar yang bisa diselesaikan oleh anaknya. Padahal saat
itu ia sedang bekerja. No matter what,
ia selalu ada, untuk anak perempuannya. Saat itu Mili mengalami kecelakaan di jalan hingga menabrak seorang pengendara motor. Ayah ingat itu? Mili tidak akan pernah lupa.
Di balik sosok Ayah yang keras dan disiplin, Ayah tidak
bisa berkata “tidak” untuk anak perempuannya. Kalau Ayah bisa membantu, Ayah
akan selalu membantu anak-anaknya. Saat itu aku sedang masa orientasi SMP.
Tidak membawa satu atribut saja
adalah hal yang sangat fatal. Dengan nada penuh ketakutan Mili mengadu pada Ayah.
Kukira Ayah tidak akan membawakan seuntai dasi yang tertinggal itu. Tapi ia bukan Ayahku kalau tidak berjuang untuk anaknya. Hanya Ayah yang mau rela jauh-jauh layaknya dari Sabang ke Merauke untuk
mengantarkan itu.
---
Ayah, tidakkah engkau sadar betapa berartinya kehadiranmu
di dalam hidupku?
Begitu besar jasamu, begitu besar hatimu. Perjalanan
hidupmu menjadi inspirasi banyak orang. Perjuanganmu selalu menjadi panutanku;
seseorang yang bekerja dari keadaan yang kurang dari berkecukupan hingga bisa
menjadi seperti sekarang.
Sungguh Ayah, Mili masih membutuhkan kehadiranmu bersama
dengan Ibu dalam hidupku untuk seterusnya. Tidakkah Ayah ingin mengantarkan anak
gadisnya berjalan di pelaminan, bersama Ibu, istri Ayah yang melahirkanku dan
merawat Mili berasama Ayah hingga sebesar ini?
Tidakkah Ayah ingin
menimang cucu, dan ketika cucu itu besar, ia akan dengan bangga berkata pada teman-temannya
“besok aku mau ke rumah eyang kakung dan eyang putri, kita mau liburan
bareng”. Harapan akan angan Mili yang seperti itu akan segera sirna, apabila Ayah
dan Ibu tidak lagi bersama…
---
Ayah, keputusanmu pagi ini, begitu mengguncang Mili. Seberapapun
Mili mencoba untuk mengabaikannya, bagaimanapun Mili berusaha keras untuk tidak
memikirkannya. Beberapa jam ini telah membuatku kebingungan. Apalagi kalau
memang sampai benar-benar terjadi……….
Kuharap keputusanmu belumlah bulat.
Ya Allah…
Mili ingin membuat Ayah
dan Ibu bangga saat Mili wisuda nanti. Mili ingin bisa membuat Ayah dan Ibu
bersama-sama menunjuk Mili, anak perempuan yang menggunakan toga hitam berkalung
merah di barisan mahasiswa Teknik bergelar cum
laude, berkata pada bapak dan Ibu di sebelah kalian, “hei, itu anak kami”.
Ya…. Karim….,
Walaupun Ayah selalu berkata Mili telah membanggakan Ayah, Mili percaya Mili belum cukup melakukan hal yang
membanggakan Ayah. Mili masih ingin berbakti, membiayai Ayah dan Ibu naik
haji bersama-sama.
Ya Allah,
Ya Rahman…
Salah satu ayat dalam kitab Al Quran, pedoman segala
umat, mengatakan bahwa “Allah tidak akan
memberikan cobaan yang tidak bisa diselesaikan oleh umatnya”, apakah ini
cobaan yang bisa kutopang ya Allah? Maafkan hamba yang tidak tahu apa-apa ya Allah,
namun kali ini hamba rasa tidak, sungguh ini benar-benar di luar kuasa hamba
ya Allah…
---
Ayah,
Benarkah engkau akan meninggalkan Mili Ibu dan Kakak? Menanggalkan begitu
saja janji suci perkawinan di antara Ayah dan Ibu?
Are you really gonna let me down and leaving me alone, facing the big world
unguided?
Ayah,
Izinkanlah Mili meminta satu permintaan, satu saja
permintaan… Bertahanlah Ayah. Mili tahu Ayah sakit, terluka dan tak berdaya. Ada bagian
dari diri Ayah yang egois dan tidak ingin menerima keadaan seperti ini. Mili tidak meminta apa-apa, kecuali kepada Ayah untuk kembali pada Yang Maha Esa…
Untuk meminta pencerahan dari-Nya. Janganlah mengambil keputusan dengan pikiran
yang emosional dan kepala
yang panas.
---
Ya… Rabb…
Tidaklah pernah Mili menyerah untuk keluarga Mili. Saat Mili kecil, Mili sangat sering dimarahi Ibu yang cerewet. Dulu Mili pernah meminta Engkau untuk mengganti Ibuku. Aku tuliskan itu pada
selembar kertas dan kukirimkan pada-Mu. Namun ternyata alih-alih Kau terima,
justru Ayah yang membacanya. Masih teringat jelas dan melekat dengan sangat
erat dalam laci ingatan Mili bahwa Ayah memberikan pencerahan
bahwa Ibu melakukan itu semua demi kebaikan Mili. Mili boleh kesal pada Ibu, tapi
meminta Allah untuk mengganti Ibu dengan Ibu yang lain adalah suatu kesalahan
terbesar yang pernah kulakukan. Itu kata Ayah. I admit that, I’ve never been so wrong in my life, and you
were the one who reminded me about that.
Keluarga adalah tempat dimana Mili bisa menjadi diri Mili yang sesungguhnya tanpa harus takut akan ditinggal. Tempat dimana Mili selalu
dihargai dan didengarkan seberapa buruk pendapat Mili. Mili tidak pernah
berpura-pura dan selalu bisa terbuka. Because
all I know is that family means no one gets left behind.
---
Atas segala apa yang telah Ibu perbuat, tolonglah Ayah,
ampuni Ibu… Allah, Zat Maha Kuasa yang
menciptakan alam jagat raya saja adalah Maha Pemaaf yang Agung, tidakkah Ayah ingin
memaafkan
Ibu dan melihat Mili dan Kakak bisa kembali bekerja keras untuk bisa
membanggakan kalian berdua?
Bukannya Mili membelanya, tapi Mili hanya ingin keluarga
ini utuh kembali. Bukannya aku ini lebih sayang pada Ibu, percayalah, jika
benar ada timbangan kasih sayang antara untuk Ayah dan Ibu, aku berjanji tidak akan
ada salah satu sisi yang lebih berat!
---
Ayah, pria terbaik yang pernah Mili temui…
Sesungguhnya keberuntungan
Ayah, pengharapan Ayah, tak lain dan tak bukan ada pada Ibu dan anak-anak.
Mereka akan sirna pula dari kehidupan Ayah jika benar kata
perpisahan adalah kata-kata yang Ayah inginkan. Mili percaya tidaklah akan tenang hidupmu Ayahku. Ketika Ayah
dulu tidak punya apa-apa, Ibu mempercayai Ayah dan setia berada di sisi Ayah.
Terlepas dari kekurangannya, Ayah pun juga kurasa punya kekurangan. Tak perlu
kusebutkan apa, bertahun-tahun Mili menyaksikan kehidupan pasangan suami-istri
antara Ayah dan Ibu.
Sungguhlah aku tidak menyangka Ayah sampai hati
memutuskan untuk menjatuhkan hukuman yang sangat kejam ini pada Ibu, yang juga secara
tidak langsung pada Kakak dan Mili, kedua anakmu.
---
Ketika Mili melihat sebuah acara TV tentang seorang anak
yang harus menjadi anak yang tidak lagi mempunyai keluarga yang utuh, Mili begitu iba padanya. Tidak bisa Mili bayangkan betapa berat hidup yang harus
dihadapi anak itu. Begitu berbeda dan tidak lagi sama. Tak dinyana bayang-bayang hidup
mengerikan seperti itu kini sangat dekat denganku, Mili dan Kakak, akan menjadi anak broken
home…
Beberapa kali Ibu menanyakan pertanyaan ini: “Kalau Ayah dan Ibu cerai, Mili mau tinggal
sama siapa?”
Dari segala pertanyaan apapun di dunia ini, mau pelajaran
paling sulit apapun macam Fisika dan Matematika yang aku sering mengulang karena
terlalu bodoh untuk mengerti kek, atau mata kuliah macam Bioproses yang mana semua
orang memaki soalnya setelah ujian kek, tidak
ada pertanyaan sesulit pertanyaan dari Ibu
itu. TIDAK ADA. Karena Mili TIDAK
INGIN MENJAWABNYA.
---
Mili menuliskan semua ini murni dari hati Mili. Tidak ada
paksaan, tidak ada suruhan, tidak ada dorongan dari pihak ketiga. Baik Kakak, Ibu,
siapapun itu.
Mili harap surat ini cukup memberikan gambaran, betapa
hancurnya, berkeping-keping hati ini ketika palu godam ucapan Ayah pagi ini
tertangkap indera pendengaran Mili. Masih selalu ada banyak waktu untuk
mengelemnya kembali. Tapi tidak akan bisa disatukan, kalau perceraian itu
sampai terjadi.
Sumbu-sumbu mimpi Mili butuh untuk diberi api,
hanya support dari Ibu dan Ayah serta Kakak secara utuhlah yang bisa menyalakan
lilin mimpiku.
---
Ayah, Mili masih ingat jargonmu yang
dulu sering kau dengungkan, namun jarang sekali terdengar akhir-akhir ini: “Yang penting, anak dan istriku bahagia”
And you know what, Ayah? I am not happy at
all with your decision about the divorce. I know you’re a good man and
definitely not a liar. Please think about this hundred, thousand,
million times.
Love
you forever Dad,
From
your daughter that wants her family stay together until she dies
Comments