Negeri Seribu Tikus Berdasi
Tulisan ini adalah tulisan yang gue ikutkan dalam lomba menulis essay yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro dan alhamdulillah mendapat juara pertama. Tema tulisan adalah tentang korupsi di Indonesia dan cara pemberantasannya. Selamat membaca :)
Penulis
sebenarnya sangat bingung terhadap orang-orang yang mendalilkan dirinya
mengabdi untuk negeri namun melakukan tindak pidana yang sangat keji: korupsi.
Tidakkah mereka memiliki hati nurani? Kurang ironis apa melihat mereka
bersenang-senang dalam limpahan harta yang bahkan bukan milik mereka sendiri,
di atas penderitaan rakyat kecil? Sejatinya memang bukanlah suatu hal yang
muskil untuk memberantas korupsi. Namun dalam hal ini tentu diperlukan
kerjasama antara seluruh elemen masyarakat. Mulai dari pengamen, pelajar, pengusaha,
birokrat, pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan sampai ke Presiden.
Di tengah-tengah rasa pesimis akan kemajuan bangsa yang terus diwarnai dengan
pemberitaan tentang korupsi, penulis menghadirkan ide-ide orisinil yang dapat
menggugah rasa kemanusiaan kita dan juga menawarkan gambaran yang tepat akan karakter
yang dibutuhkan dalam memberantas korupsi.
Sebagai
warga negara Indonesia yang peduli masa depan bangsanya, kita tidak boleh
apatis akan isu yang terjadi di negeri kita sendiri. Terlepas dari baik atau
buruknya isu tersebut kita seharusnya senantiasa melakukan tindakan positif dalam
menanggapinya, bukannya hanya terus mengutuk dan mencaci-maki keadaan. Terlalu
banyak potensi bangsa yang terhambat karena korupsi. Dan terhadapnya,
kebanyakan orang justru lebih memilih mengeluhkan keadaan saja tanpa melakukan tindakan
konkrit yang berfaedah. Atas hal-hal seperti ini, sebagai garda terdepan
pemberantasan korupsi, KPK sudah seharusnya dapat membuat ‘senjata’ yang dapat
menyerang tanpa ampun para pelaku korupsi, sehingga kemajuan bangsa ini tidak
lagi terhambat. Penulis melihat selama ini ketua KPK dan pimpinannya yang
bersifat kolektif kolegial ini hanya berfokus pada tindakan korupsi yang sudah
terjadi dan penerapan tindakan represif saja. Padahal penerapan tindakan
preventif terhadap isu korupsi ini juga sangat penting untuk dieksekusi secara
nyata dalam masyarakat.
Lembaga
KPK dan juga kita sebagai masyarakat mengemban tanggung jawab yang besar dan
penuh rintangan dalam memberantas tikus berdasi ini. Mengapa? Karena kasus
korupsi nampaknya tidak kunjung usai, terus menerus muncul, baik di media cetak
maupun di radio dan televisi. Sebut saja kasus korupsi Gayus, disusul kasus
korupsi dalam Bank Century yang entah seperti apa akhirnya, kasus korupsi yang
terjadi di kementrian, kasus Wisma Atlet yang menyeret banyak pejabat-pejabat
pemerintahan, kasus korupsi pengadaan buku pelajaran, kasus korupsi di
kepolisian dan berbagai kasus lainnya yang terus bermunculan. Muak saja rasanya
tidak cukup. Negeri ini penuh sesak dengan tikus berdasi yang mengedepankan
kepentingan perut mereka sendiri.
Tentu
tidak ada warga negara manapun yang tidak sedih, mengetahui bahwa korupsi telah
dianggap sebagai ‘budaya’, telah dianggap sebagai suatu hal yang telah mengakar
dan mendarah daging di negaranya. Jujur penulis sendiri tidak setuju dengan
pendapat bahwa korupsi adalah suatu
budaya yang telah mengakar. Karena penulis percaya masih ada harapan untuk
merubah keadaan yang memprihatinkan ini. Selalu ada secercah cahaya di balik
kegelapan. Ketika kita prihatin akan keadaan di negara kita, maka yang harus
kita lakukan adalah melakukan sesuatu, yang memberikan dampak positif! Bukannya
malah terus-terusan menyalahkan keadaan. Kita sudah seharusnya melakukan hal
yang berguna untuk masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Anies Baswedan
terkait dengan program, yaitu Indonesia Mengajar: “Berhenti mengecam kegelapan, nyalakan lilin”. Menjadi pengajar
muda dalam gerakan Indonesia Mengajar termasuk kegiatan konkrit yang mendidik
penerus masa depan yang ada di pelosok negeri.
Penulis
tak pernah hentinya terinspirasi oleh filosofi yang lahir dari tokoh pendidikan
kita, Ki Hajar Dewantara, yaitu: “Ing
ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah memberikan semangat) dan tut wuri handayani (di belakang
memberikan dorongan)”. Penulis rasa filosofi ini akan selalu relevan untuk
diterapkan oleh semua pemimpin yang ada di dunia ini. Maka senjata pertama yang
dapat disiapkan KPK adalah menerapkan filosofi Ki Hajar Dewantara, sehingga penulis
bisa menjadi pemimpin yang menjadi teladan, memberi semangat dan dorongan.
Keteladanan, semangat dan dorongan yang akan penulis tunjukkan adalah tentu
tentang pentingnya nilai kejujuran dan anti korupsi yang penulis terapkan dalam
kehidupan penulis sehari-hari.
Solusi
yang selanjutnya penulis tawarkan untuk memberantas korupsi adalah dengan memberikan
sosialisasi tentang pendidikan anti korupsi dan terus mengkampanyekan nilai
anti korupsi dalam segala lini—baik anak sekolah dasar, anak sekolah menengah
pertama dan atas, anak kuliah, hingga orang dewasa yang sudah bekerja. Penulis
rasa ini sangat penting karena terkadang korupsi alami terjadi begitu saja.
Bukan hal yang terasa buruk ataupun janggal karena sudah sering terjadi dan
dianggap normal. Seperti contohnya seorang anak kecil yang sudah biasa
berbohong dengan tidak memberikan uang kembalian kepada orang tua yang
memberikan uang untuk membelikan suatu barang tertentu, seorang pelajar di
sekolah yang terbiasa mencontek jawaban teman agar mendapat nilai yang baik,
dan sebagainya. Konsep korupsi ini tidak hanya terjadi di kalangan atas para
tikus-tikus berdasi kelas kakap. Tapi tentu mereka ini berasal dari korupsi
kecil-kecilan pada awalnya.
Di
awal paragraf penulis memperlihatkan suatu opitimisme akan pemberantasan korupsi
ini. Hal ini bukanlah hal yang tanpa dasar. Rasa optimisme itu muncul ketika penulis
membaca suatu artikel tentang komunitas pemuda yang gencar menyuarakan gerakan
anti korupsi yaitu SPEAK (komunitas pemuda anti korupsi). Kebetulan seorang
senior di kampus penulis adalah salah satu anggotanya. Dari beliau penulis
mengetahui kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan komunitas tersebut. Mulai
dari kajian, forum group discussion, hingga
konser pemuda yang sarat akan nasionalisme dan sosialisasi tentang anti
korupsi. Jika penulis ketua KPK, penulis akan mendukung komunitas pemuda
tersebut dan yang sejenis, dengan bentuk kerjasama dari segi materiil maupun
non-materiil. Karena penulis percaya pemuda lah yang menjadi ujung tombak
bangsa dan penerus tongkat estafet kepemimpinan di negeri ini. Mereka lah yang
akan menciptakan ‘senjata’ lebih canggih lainnya yang dapat membidik
tikus-tikus berdasi ini. Maka gerakan yang memunculkan kesadaran akan anti
korupsi ini harus didukung dengan baik agar bisa beraktivitas secara kontinyu.
Jujur
penulis sempat berpikir untuk menghilangkan organ tubuh dari koruptor sebagai
hukuman dari tindak pidana yang mereka lakukan ini. Karena tampaknya hukuman
penjara sudah tidak memiliki efek lagi, karena mereka bisa cepat keluar bui. Namun
kemudian penulis merenung, hal ini tidak akan membuat mereka jera. Buat apa?
Karena bahkan hukuman ini tidak cukup sepadan untuk menghukum perbuatan yang
mereka lakukan. Hal yang dapat dilakukan adalah menciptakan suatu keadaan yang
dapat membuat mereka berpikir bermiliar kali untuk melakukan korupsi, hal yang
mereka takutkan: menjadi miskin. Kita dapat melakukan pemiskinan kepada para
orang-orang maupun pejabat yang terbukti melakukan korupsi tersebut, tanpa
ampun. Seluruh aset yang mereka miliki disita sampai mereka tidak mempunyai
harta apapun, dan kemudian ditempatkan dalam rumah khusus koruptor. Di dalamnya
seluruh koruptor mempunyai fasilitas yang sama satu sama lain dan makanan serta
pelayanan di dalamnya tentunya penuh kesederhanaan. Selain itu mereka harus
melakukan kerja sosial dan dipantau setiap hari kinerjanya. Kemudian mereka
nantinya akan memiliki KTP khusus koruptor. Kartu tanda penduduk mereka akan
dibedakan dengan warga negara Indonesia lainnya, dan diberi label “KORUPTOR”.
Hal ini terdengar kejam dan tidak mengenakkan bagi keluarga dari koruptor. Namun
hal ini harus dilakukan agar para calon koruptor ini harus berpikir lagi dan
lagi sebelum melakukan korupsi.
Lalu
penulis ingin sekali mempublikasikan dengan gencar website Wall of Shame, dimana website ini adalah berisikan daftar nama-nama pejabat yang telah
terbukti melakukan korupsi. Selain itu besaran yang telah ia korup beserta
penjelasan kasusnya juga dijabarkan dalam website
tersebut. Website ini diharapkan
dapat menimbulkan rasa malu dan menyadarkan para pelaku korupsi ini agar tidak
melakukan korupsi lagi dan kepada pelaku lainnya yang belum masuk namanya dalam
website ini, menjadi takut namanya
terpampang dalam website tersebut dan
menghentikan tindakannya. Jujur, mengenai hal ini penulis terinspirasi kepada
negara Cina. Wall of Shame ini
merupakan tembok—ya, tembok secara harfiah—dengan gambar para pejabat di Cina
yang melakukan korupsi. Gambar ini dibuat dalam warna merah, seperti layaknya
warna merah dalam uang kertas di Cina. Aksi ini merupakan inisiatif yang
datangnya dari seorang seniman Cina yang muak akan korupsi yang terjadi di
negaranya.
Terakhir,
untuk ‘menyikat’ tikus-tikus berdasi yang cerdik ini, tentu kita harus lebih
cerdik dari mereka. Pemerintah harus bisa membuat suatu teknologi yang dapat secara
detail mengetahui transaksi-transaksi keuangan yang dilakukan para pejabat,
pengawasan ketat dengan kamera tersembunyi, dan lain-lain. Apabila dinilai
mencurigakan, bisa langsung didapatkan data-data spesifik yang dibutuhkan untuk
diketahui. Di samping itu, ide yang cukup ekstrim adalah, tiap pejabat maupun
pegawai negeri akan diberikan suatu pil berisi alat pendeteksi yang bisa
mengetahui keberadaan mereka dimanapun mereka berada.
Memberantas
korupsi memang tidak semudah membalikkan tangan. Namun hal itu bukan berarti
tidak mungkin dapat dilakukan. Memang tidak mudah, namun tidak ada yang tidak
mungkin di dunia ini untuk suatu kebaikan—bahkan keburukan sekalipun. Tentunya
para pemberantas korupsi ini harus tegas, berani dan tanpa gentar dalam
mengusut seluruh kasus korupsi yang ada sampai ke akarnya.
Semoga
tulisan penulis—seorang pemuda yang memiliki harapan besar pada bangsa
ini—dapat menggungah jiwa-jiwa muda lainnya yang berpotensi menjadi ketua KPK
nantinya untuk memperbaiki keadaan bangsa yang penuh korupsi ini. Dan mungkin
saja menginspirasi untuk langkah yang harus diambil pada saatnya nanti. Mari
kita ubah negeri seribu tikus berdasi menjadi negeri yang bersih. Hidup
Indonesia tanpa korupsi!
Comments